Dia ingin ada komunikasi intensif antara pelaku usaha, masyarakat, dan BPOM, termasuk pebisnis kecil untuk menghindari perdebatan yang panjang mengenai hal ini. Apalagi revisi yang diajukan itu akan mewajibkan AMDK galon guna ulang berbahan PC untuk mencantumkan label ‘berpotensi mengandung BPA’ pada kemasannya. Sedangkan galon sekali pakai berbahan PET boleh mencantumkan label ‘bebas BPA’.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyarankan kepada BPOM untuk memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai jaminan perlindungan UMKM.
Menurutnya, dampak dari kebijakan ini memang akan dirasakan lebih dahulu oleh pelaku besar sebelum mengarah ke pelaku UMKM. Adapun dampak pada UMKM relatif lebih kecil sepanjang kebijakan pelabelan BPA itu tidak diiringi dengan penarikan galon yang telah beredar di masyarakat.
Oleh sebab itu, BPOM wajib memberikan kepastian apakah pelabelan BPA berlaku surut atau tidak. Jika berlaku surut, maka galon yang saat ini beredar pun harus ditarik dari pasaran lantaran tidak dilengkapi label BPA. Hal inilah yang merugikan UMKM karena mayoritas galon yang dijadikan objek untuk mengisi ulang air adalah barang bekas atau yang sudah beredar di masyarakat.
"Jangan sampai semua galon yang sudah tersebar harus ditarik kembali dan disesuaikan standarnya mengikuti regulasi yang baru," kata Yusuf. Dia menambahkan, apabila galon harus menggunakan standar BPA dan galon lama tidak boleh digunakan kembali, tentu ini akan berdampak terhadap konsumen dan juga pelaku usaha air isi ulang.
Ketua Asdamindo Erik Garnadi menambahkan, seharusnya yang lebih disoroti adalah soal kualitas air minum isi ulang yang ada di depot-depot ilegal. Terlebih, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hanya 1,6 persen dari total jumlah depot air minum isi ulang yang memiliki legalitas atau sertifikat higienis.
Editor : Eka L. Prasetya
Artikel Terkait