"Skripsi tidak perlu dihapuskan secara mutlak, karena tidak semua mahasiswa ingin menggantikannya. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi peneliti, dosen, dan profesi lainnya, tetap dapat memilih untuk menyelesaikan skripsi," ujarnya.
Budi juga menekankan bahwa standar penilaian seharusnya dapat ditentukan oleh setiap Perguruan Tinggi secara independen. "Standar penilaian harus disesuaikan dengan kebijakan masing-masing Perguruan Tinggi. Standar ini dapat dirancang oleh Perguruan Tinggi, mencakup tahapan input, proses, dan hasil akhir yang disesuaikan dengan karakteristik unik masing-masing institusi."
Lebih lanjut, Budi menyatakan bahwa APTISI mendukung kebijakan untuk tidak mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa. "Pentingnya adalah bahwa APTISI setuju untuk tidak mengharuskan skripsi, dan kami, bersama dengan APTISI, telah melaksanakan penghapusan skripsi selama lebih dari 25 tahun dengan melibatkan berbagai proyek dan inovasi."
"Sekarang, saatnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristekdikti) menghapuskan peraturan-peraturan yang menghambat kreativitas dan inovasi di lingkungan kampus. Hingga saat ini, masih ada banyak peraturan yang sudah tidak relevan, seperti persyaratan bahwa dosen harus berjalan searah, serta konsep yang terlalu kaku," pungkas Budi.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait