JAKARTA, iNews.id — Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM ) merekomendasikan pencantuman label 'Berpotensi Mengandung BPA' pada produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang kemasan plastiknya terbuat dari polikarbonat (PC).
Upaya ini diharapkan dapat mengedukasi masyarakat akan bahaya BPA bagi kesehatan. BPA atau Bisfenol A merupakan salah satu bahan penyusun plastik PC kemasan air minum dalam galon yang pada kondisi tertentu dapat bermigrasi dari kemasan ke dalam air yang dikemas.
Kepala BPOM Penny K. Lukito dalam keterangannya mengatakan, BPA berdampak pada tubuh melalui mekanisme endocrine disruptors atau gangguan hormon khususnya hormon estrogen, sehingga berkorelasi pada beberapa masalah kesehatan, baik fisik maupun mental.
"Masalah kesehatan akibat BPA seperti gangguan reproduksi baik pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, perkembangan kesehatan mental, Autism Spectrum Disorder (ASD), dan pemicu Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)," ujar Penny K. Lukito.
'Berpotensi Mengandung BPA' dikecualikan untuk produk AMDK dengan hasil analisis BPA tidak terdeteksi dengan nilai Limit of Detection (LoD) ≤ 0,01 bpj dan migrasi BPA dari kemasan plastik polikarbonat memenuhi ketentuan perundang-undangan. Sedangkan hasil uji migrasi BPA yang mengkhawatirkan (berada pada 0,05 sampai dengan 0,6 bpj) sebesar 46,97 persen di sarana peredaran dan 30,91 persen di sarana produksi.
"Hasil pengawasan kandungan BPA pada produk AMDK dengan kandungan BPA di atas 0,01 bpj (berisiko terhadap kesehatan) di sarana produksi sebesar 5 persen sampel galon baru dan di sarana peredaran sebesar 8,67 persen," kata dia.
Dengan adanya wacana pelabelan BPA ini, diharapkan tidak berdampak buruk kepada UMKM. Pemerintah perlu mewaspadai risiko pelabelan wajib Bisfenol-A (BPA) pada galon guna ulang berbahan polikarbonat terhadap eksistensi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Diharapkan, kebijakan yang dikeluarkan oleh BPOM tidak akan merembet pada pebisnis kelas kecil yang kini banyak terjun ke industri pengisian air minum.
Sekjen Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Reynaldi Sarijowan menyarankan kepada BPOM dan pemangku kebijakan untuk memerhatikan pada standar mutu dibandingkan dengan kemasan dari produk tersebut.
"Diharapkan pemerintah untuk lebih teliti dalam menyusun kebijakan yang terkait dengan konsumsi masyarakat luas ini. Buat pedagang berdampak tetapi secara tidak langsung. Tetapi yang lebih penting soal mutu," kata Reynaldi.
Dia ingin ada komunikasi intensif antara pelaku usaha, masyarakat, dan BPOM, termasuk pebisnis kecil untuk menghindari perdebatan yang panjang mengenai hal ini. Apalagi revisi yang diajukan itu akan mewajibkan AMDK galon guna ulang berbahan PC untuk mencantumkan label ‘berpotensi mengandung BPA’ pada kemasannya. Sedangkan galon sekali pakai berbahan PET boleh mencantumkan label ‘bebas BPA’.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyarankan kepada BPOM untuk memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai jaminan perlindungan UMKM.
Menurutnya, dampak dari kebijakan ini memang akan dirasakan lebih dahulu oleh pelaku besar sebelum mengarah ke pelaku UMKM. Adapun dampak pada UMKM relatif lebih kecil sepanjang kebijakan pelabelan BPA itu tidak diiringi dengan penarikan galon yang telah beredar di masyarakat.
Oleh sebab itu, BPOM wajib memberikan kepastian apakah pelabelan BPA berlaku surut atau tidak. Jika berlaku surut, maka galon yang saat ini beredar pun harus ditarik dari pasaran lantaran tidak dilengkapi label BPA. Hal inilah yang merugikan UMKM karena mayoritas galon yang dijadikan objek untuk mengisi ulang air adalah barang bekas atau yang sudah beredar di masyarakat.
"Jangan sampai semua galon yang sudah tersebar harus ditarik kembali dan disesuaikan standarnya mengikuti regulasi yang baru," kata Yusuf. Dia menambahkan, apabila galon harus menggunakan standar BPA dan galon lama tidak boleh digunakan kembali, tentu ini akan berdampak terhadap konsumen dan juga pelaku usaha air isi ulang.
Ketua Asdamindo Erik Garnadi menambahkan, seharusnya yang lebih disoroti adalah soal kualitas air minum isi ulang yang ada di depot-depot ilegal. Terlebih, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hanya 1,6 persen dari total jumlah depot air minum isi ulang yang memiliki legalitas atau sertifikat higienis.
Editor : Eka L. Prasetya