SUKABUMI, INewsSUKABUMI.id - Di Pantai Citepus, Desa Citepus, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, nampak warga setempat sedang berkerumun di tepi pantai. Mereka sedang mengumpulkan jutaan ikan kecil yang disebut Impun, yang bermigrasi dari laut ke sungai.
Tradisi Salawena atau Ngala Impun, yang hanya terjadi pada bulan-bulan tertentu, dapat disaksikan oleh masyarakat pesisir pantai.
"Ini rutinitas orang sini asli. Tapi udah lama, udah sekitar 7 atau 8 bulanan baru ada lagi. Gak tentu klo musimnya yang penting bulannya itu bulan Jawa atau bulan islam Hijriah dari tanggal 23 sampai 26," ungkap Feri (34) warga Citepus, Kamis (18/5/2023).
Ngala Impun, sebuah tradisi yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang, belum diketahui kapan dimulainya. Namun, yang pasti adalah setiap akhir bulan dalam kalender Hijriah, warga berkumpul di muara sungai untuk menangkap ikan kecil ini. Ikan Impun bukan hanya menjadi makanan favorit masyarakat pesisir pantai karena rasanya yang gurih, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, banyak warga yang menangkapnya untuk konsumsi sendiri atau dijual.
"Paling sedikit klo memang posisi keadaan ikan banyak itu sekitar 2 kilo atau 3 kilo, cuma klo gak ada (ikan) paling banyak juga sebanyak mangkok baso. Biasanya klo hasilnya sebagian dijual, hitungannya per gelas itu 15 sampai 20 ribu," terangnya.
Neng Tuti Alawiyah, seorang warga Cikakak, juga mengungkapkan hal yang serupa. Dia menyatakan bahwa dalam sehari, dia mendapatkan jumlah ikan impun yang bervariasi, mulai dari 1 kilogram hingga 3 kilogram, tergantung pada situasinya. Namun, dalam beberapa tahun sebelumnya, ada juga yang berhasil mendapatkan hingga 1 karung ikan impun.
"Sekarang ini ngambil impun lumayan banyak. Penghasilan ada yang dapet 1 kilo ada yang dapat 3 kilo, bervariasi sih. Nangkapinnya dari Subuh sampai sore baru pada pulang, atau Dzuhur pulang kemudian balik lagi ke pantai. Bahkan dulu mah bisa sampai dapat sekarung tapi skrang mah seember, ada yang dapat setolok," tandas Tuti.
Editor : Suriya Mohamad Said