VIRALNYA kembali kopi sianida Jessica Wongso di sejumlah media sosial, menarik perhatian advokat senior, Otto Cornelis Kaligis untuk berpendapat. Menurut pengacara senior tersebut, jauh sebelum sidang dugaan peracunan terhadap Mirna Salihin dinyatakan terbuka untuk umum, Jessica Wongso yang menjadi terdakwa dalam kasus tersebut, telah divonis oleh media.
“Media secara terus-menerus memvonis melalui sumber beritanya adalah ayah Mirna. Ayah Mirna, Eddy Darmawan Salihinlah, yang dengan lantang, memutus di luar persidangan, bahwa si pembunuh Mirna, pasti adalah Jessica. Dan sebagian besar media, percaya akan siaran pers sang ayah, Eddy Darmawan Salihin,” tukas Kaligis di Jakarta, Sabtu (14/10/2023).
Penggiringan opini yang dilakukan sebelum sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, sebenarnya bertentangan dengan Presumption of Innocence, Azas Praduga tak bersalah sesuai KUHAP, yang para praktisi, mengakui sebagai Karya Agung, meninggalkan azas Presumption of Guilt peninggalan HIR, hasil karya si penjajah.
“Saya melihat video kejadian di locus delicti. Dari yang dapat diikuti oleh publik, CCTV tak dapat membuktikan fakta hukum, disaat Jessica dicurigai menaruh bubuk sianida di gelas Mirna. Lalu bagaimana dengan kesaksian dari pelayan café ? Mereka pun dibawah sumpah, tidak bisa memberi kesaksian, bahwa mereka melihat Jessica menaruh bubuk sianida di gelas Mirna. Dari pertemuan Jessica-Mirna, dimana kedatangan Jessica lebih dulu dari Mirna, kemudian lantas disimpulkan bahwa kedatangan Jessica lebih awal, karena adanya niat untuk mencelakakan Mirna, kesimpulan yang keliru ini pun tidak dapat dijadikan bukti sesuai pasal 184 KUHAP,” tukas Kaligis.
Seperti diketahui dalam Pasal 184 KUHAP diatur tentang (1) Alat bukti yang sah ialah : a.keterangan saksi, b.keterangan ahli, c.surat, d.petunjuk, e.keterangan terdakwa. Dan (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Dalam kasus ini, pertanyaan berikutnya yang muncul, pelayan siapa yang memindahkan air ke botol sehingga Otto Hasibuan, Pengacara Mirna, mempertanyakan keabsahan barang bukti? Biasanya gelas atau botol air yang dipakai untuk kopi Mirna, ketika air dipindahan ke botol, harus mengikuti tata cara yang diatur di pasal 129 KUHAP.
Dimana isi Pasal 129 KUHAP adalah (1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua Iingkungan dengan dua orang saksi. (2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. (3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya. (4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang darimana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.
“Sementara semua kesaksian kabur, tidak jelas, bukan kesaksian fakta, ayah Mirna tak henti hentinya melalui media, menggiring opini, bahwa pasti pelaku pembunuhan adalah Jessica. Dipersidangan dan dalam pembelaan pribadi Jessica, Jessica menolak keras sangkaan, tuduhan dirinya selaku Pembunuh. Pasal 184 KUHAP :
”Keterangan terdakwa pun adalah bukti hukum“ yang harus menjadi pertimbangan hakim. Bagi saya memang kasus pembunuhan kopi sianida, keputusannya berdasarkan kecurigaan. Atas dasar dari kecurigaan akhirnya hakim memutus bersalah Jessica,” tukas Kaligis.
Ditambahkannya, padahal tak seorang saksi fakta pun yang dapat memberi kesaksian, bahwa mereka melihat Jessica menuangkan serbuk sianida ke cangkir Mirna.
Termasuk kesaksian para pekerja Kedai Kopi Olivier yang bertugas dan langsung berhadapan dengan Jessica- Mirna di Grand Indonesia. “Tak seorangpun yang melihat Jessica memasukkan serbuk sianida ke gelas Mirna. Setelah upacara minum kopi selesai, para pelayan pun pasti tidak sadar bahwa di gelas Mirna terdapat serbuk sianida. Seandainya dari mereka para pelayan, seorang pelayan saja sadar akan adanya sianida, menurut hukum acara, gelas dan botol harus pada saat itu diamankan menunggu penyidik datang untuk melakukan Berita Acara Penyitaan, yang disertai kemudian dengan gelar perkara ditempat kejadian,” ujar Kaligis.
Harus jelas BA penyitaan gelas Mirna, lalu mengapa tiba tiba dapat memutus bahwa gelas itulah gelas dimana Jessica menuangkan sianida? “Apa gelas itu kosong atau ada sisa sisa kopi, kemudian disimpulkan adanya barang bukti gelas sianida ? Berangkat dari kecurigaan barang bukti, lantas media menyimpulkan bahwa Jessica adalah pelaku Tunggal,” kata Kaligis.
Pengakuan dan penyangkalan Jessica sesuai pasal 184 KUHAP juga termasuk bukti yang harus dipertimbangkan. Sayangnya pengakuan Jessica dan latar belakang Jessica yang tidak pernah terlibat kejahatan Kekerasan, tidak menjadi pertimbangan hakim.
“Kesimpulan berdasarkan kurangnya saksi, bukti, atau bahkan tanpa bukti sama sekali, apalagi dengan hanya rekayasa keterangan Media, dan apalagi dapat dipastikan bahwa ayah Mirna bukan yang langsung adalah saksi fakta, menyebabkan saya berkesimpulan berdasarkan pengalaman saya, bahwa Jessica adalah benar benar korban salah hukum,” kata Kaligis.
Cerita dibalik kasus sianida. Di media kasus kematian Mirna dihubung-hubungkan dengan nilai asuransi sebesar lima juta dollar Amerika, sehingga berita liar yang beredar adalah mungkin saja kematian Mirna agar yang berkepentingan dapat memperoleh jumlah asuransi tersebut. Tentu pembuktian hubungan kematian dengan nilai asuransi Mirna, sangat sulit dibuktikan.
Pengacara yang sudah beracara lebih dari 50 tahun itu, melihat ada 11 kejanggalan kasus Jessica.
“Pertama, Saksi Jessica Wongso, Beng Beng Ong dari Australia, ahli patologi forensik justru dilaporkan karena pelanggaran imigrasi yang mengakibatkan dideportasi dan dicekal masuk ke Indonesia selama 6 bulan. 2. Ahli patologi forensik RSCM, Djaja Surya Atmadja sempat melihat wajah Mirna Salihin yang membiru setelah meninggal. Sedangkan orang yang meninggal akibat sianida seharusnya tidak membiru, tetapi memerah karena kadar sianida HBO2-nya tinggi; 3. Tayangan media dinilai seolah menggiring opini publik untuk membenci Jessica Wongso. 4. Dokter tidak menemukan adanya sianida dalam lambung Mirna Salihin selama memeriksa jenazahnya 70 menit. 5. Namun, ahli toksikologi yang dihadirkan keluarga mengatakan ada 0,2 mg/liter sianida yang ditemukan dalam lambungnya setelah 3 hari meninggal dunia. Sedangkan sianida baru bisa menyebabkan kematian bila dosisnya mencapai 50-176 mg,” kata Kaligis.
Sedangkan motif, menjadi kejanggalan keenam dimana motif Jessica Wongso dalam membunuh Mirna Salihin juga belum jelas sampai sekarang. Ketujuh, Jessica Wongso tetap dinyatakan bersalah meskipun tanpa motif dan bukti konkrit dirinya membunuh Mirna Salihin. 8. Psikolog forensik, Reza Indragiri sempat mengatakan ada pihak tertentu yang mengintimidasi dan memberikan uang. 9. Yudi Wibowo, legal tim juga sempat menyinggung no money, no justice. 10. Ayah Mirna Salihin tuding Otto Hasibuan pakai uang untuk menghadapi kasus Jessica Wongso. Kemudian, Edi Darmawan mengaku juga memakai uang tapi tidak banyak. 11. Wawancara dengan Jessica Wongso dalam film dokumenter tersebut dihentikan karena dinilai sudah terlalu dalam.
”Karena kejanggalan itu, netizen berbalik mencurigai peran ayah Mirna Salihin dalam Kasus Kopi Sianida yang menjerat Jessica Wongso”,” tukas Kaligis.
Berdasarkan keraguan, seharusnya berlaku azas In Dubio Pro Reo. Dalam keragu-raguan Jessica harus dibebaskan. Dicontohkannya, Archie Williams dihukum selama 37 tahun, karena salah putusan hakim. Dia diselamatkan oleh Innocent Project. Sayangnya Indonesia sebagai Negara Hukum, belum ada yang peduli untuk mendirikan Innocent Project. Di Indonesia, wawancara Jessica pun dilarang Kalapas dengan alasan bahwa Jessica masih dalam taraf pembinaan.
“Bukankah hak bicara yang adalah hak perdata Jessica, harus tetap melekat pada dirinya sebagai hak asasi yang bersangkutan. Vonis hakim tidak pernah melarang Jessica untuk berbicara didepan media. Saya yakin bahwa di Indonesia pun telah terjadi salah vonis, seperti misalnya kasus eksekusi mati Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Fabianus Tibo adalah seorang buta huruf yang tidak pernah punya massa. Di saat keributan, Tibo dan kawan kawan melarikan diri dan bersembunyi di biara. Adalah Kapolda Oegroseno yang menolak eksekusi mati, karena pemeriksaan lanjutan bukti bukti dan saksi saksi yang lagi berjalan, membuktikan bahwa di tempus dan lokus Delikti, Tibo dan kawan kawan tidak berada ditempat kejadian. Melalui vonis mati Tibo Cs. dan kawan kawan, pemeriksaan lanjutan dihentikan, tanpa adanya berita lanjutan,” papar Kaligis.
Bukan saja di Indonesia terjadi vonis keliru seperti misalnya dalam kasus Sengkon dan Karta.. Didunia hukumpun terjadi hal yang sama. Contohnya antara lain kasus Lindy Chamberlain yang dihukum seumur hidup dengan tuduhan membunuh anaknya Azaria di tahun 1982.
Tahun 1988 Lindy dibebaskan berdasarkan putusan Pemerintah dan Royal Commission Australia. Kasus Robert Balltovich di Canada yang tahun 1992 dihukum seumur hidup. Tahun 1995 pembunuh sebenarnya bernama Paul Bernardo ditemukan sebagai pelaku sebenarnya.
Akhirnya Robert dibebaskan. Dan masih banyak kasus kasus salah vonis lainnya. (Vide disertasi saya berjudul Perlindungan Hukum atas hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana halaman 229 sampai 232).
Editor : Suriya Mohamad Said