Tahun Baru 1 Suro, Moment Introspeksi Diri atas Perilaku Bukan Malah Vakansi Bersama Dinasti

Dr. KRMT Roy Suryo, MKes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen
HARI ini, Jumat 27/06/25, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriyah, sekaligus juga Tahun Baru Jawa 1 Suro 1959 Dal. Untuk diketahui, Tahun Baru Suro ini memiliki makna sangat dalam bagi masyarakat Jawa, terutama yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa dan spiritualitas tradisional. Karena ini hari pertama dalam penanggalan Jawa yang berbasis kalender lunar (bulan) dengan pengaruh Islam (Hijriyah), Hindu, dan budaya lokal.
Awal tahun baru ini perlu dimaknai, namun tidak dengan perayaan pesta atau pergi liburan, melainkan sebaiknya dengan keheningan dan perenungan atas hidup yang telah dan akan dijalani. Filosofinya adalah kembali ke dalam diri, merenungi kesalahan, memperbaiki niat, dan menyucikan jiwa. Sedangkan kata "Suro" berasal dari bahasa Arab “Asyura”.
Dalam tradisi Jawa, “Suro” dimaknai sebagai waktu yang suci, penuh aura spiritual tinggi. Karenanya, dianggap waktu sakral untuk menenangkan batin.
Sejarahnya, penanggalan Jawa bulan "Suro" bisa bersamaan dengan bulan "Hijriyah" dalam Tahun Baru Islam ini karena ditetapkan oleh Sultan Agung Mataram sejak tahun 1633 M. Sebelum itu, masyarakat Jawa memakai kalender Saka (Hindu, berbasis matahari).
Jadi, Sultan Agung dalam upaya mengislamkan Jawa tanpa menghapus budaya lama, menciptakan Kalender Jawa-Islami, yaitu penanggalan lunar dengan pengaruh kalender Hijriyah dipadukan dengan aspek mistik dan kebudayaan lokal.
Kegiatan di hari-hari ini atau di bulan Suro yang disarankan atau dilakukan antara lain adalah Tapa Bisu. Puasa berbicara tujuannya adalah merenung, mengendalikan hawa nafsu, dan menyucikan pikiran.
Editor : Suriya Mohamad Said