JAKARTA, iNews.id — Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menyebutkan, bahwa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi orang Pribadi adalah berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK) alias KTP. Artinya, saat seseorang telah memiliki KTP dan telah memenuhi syarat objektif yaitu telah memiliki penghasilan di atas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), maka NIK dapat langsung diaktifkan sebagai identitas wajib pajak.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyiapkan sistem yang akan mengintegrasikan NIK menjadi NPWP dan merupakan bagian dari implementasi sistem perpajakan yang baru, yaitu Core Tax System. KTP sebagai NPWP ini akan berlaku mulai tahun 2023.
Konsultan Pajak dari PajakOnline Consulting Group Abdul Koni mengatakan, pemberlakuan KTP sebagai NPWP mempunyai tujuan bukan hanya sekadar penyederhanaan administrasi perpajakan dan juga bukan hanya sekadar upaya untuk mempermudah wajib pajak dalam melakukan dan mendapatkan pelayanan dari DJP, tetapi lebih kepada integrasi data yang berguna bagi upaya peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
"Dengan terintegrasinya semua data menggunakan NIK tersebut, maka DJP dapat dengan mudah menghimpun data-data baik berupa kepemilikan harta, transaksi keuangan, lalu lintas devisa, kartu kredit dan pembiayaan dari lembaga keuangan lainnya dan informasi-informasi lainnya yang berguna bagi upaya penggalian potensi perpajakan sehingga diharapkan tax ratio akan meningkat," kata pria yang akrab disapa Koni, mantan auditor senior Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada iNews.id.
Koni mengungkapkan, DJP tentunya akan terus berupaya agar core tax system akan terintegrasi dengan semua basis data di setiap kementerian, sehingga seluruh data dapat dijadikan sebagai tools untuk peningkatan penerimaan pajak.
Nah, saat NIK sudah terintegrasi sebagai NPWP dan DJP berhasil terintegrasi dengan basis data semua kementerian, bagaimana cara menyembunyikan harta kita agar terhindar dari pengenaan pajak?
"Pasti itu yang ada di benak wajib pajak yang merasa pajak masih belum menjadi tanggung-jawab sebagai warga negara. Maka saya jawab, masih ada," kata Koni.
Koni menjelaskan, sistem teknologi di DJP bukan seperti ahli penerawangan atau dukun sakti yang mampu menerawang dan meramal harta wajib pajak. Sistem di DJP hanya bisa mengambil data yang memang sudah tersimpan di basis data yang terintegrasi dengan DJP.
Jadi, kalau harta disimpan di bank atau menjadi aset berupa tanah bangunan, kendaraan atau lainnya, masih akan terdeteksi oleh sistem perpajakan. Namun, jika harta diperoleh dari transaksi tunai dan disimpan hanya di bawah bantal, maka DJP kemungkinan besar tidak mampu mendeteksi harta tersebut karena ahli penerawangan tidak dimiliki oleh petugas pajak.
"Namun Wajib Pajak harap waspada. Harta yang disimpan di bawah bantal, akan ketahuan juga saat harta tersebut kemudian digunakan untuk membeli harta lain atau digunakan untuk transaksi yang terintegrasi dengan sistem di pemerintahan, meskipun itu hanya untuk jalan-jalan ke luar negeri," kata Koni.
Koni mengatakan, harta tersebut hanya boleh dipakai buat makan sehari-hari saja. Jangan punya kendaraan, jangan punya rumah, jangan jalan-jalan keluar negeri, jangan beli emas dan perhiasan yang ada sertifikatnya, jangan untuk membiayai anak untuk sekolah di sekolah swasta yang mahal atau favorit, jangan ditransfer ke orang lain. Harta tersebut hanya boleh untuk mencukupi kehidupan sehari-hari yang wajar.
"Tetapi, saat harta tersebut kemudian dipakai untuk beli tanah, membangun rumah, membeli kendaraan dan lain sebagainya, saat itulah DJP akan mendeteksi harta tersebut dan kita harus siap-siap menjelaskan apakah sumber penghasilan dari kepemilikan harta tersebut telah dikenakan pajaknya," ujar Koni.
Koni menegaskan, hampir tidak ada celah lagi untuk menyembunyikan harta saat NIK/KTP terintegrasi dengan NPWP dan DJP berhasil mengintegrasikan semua basis data dari semua kementerian. Sudah ada Automatic Exchange of Information (AEOI) di NIK. Hal itu mempermudah DJP mendeteksi data, termasuk data harta yang berada di luar negeri. Sebab, pemerintah kita juga bekerja sama pemungutan perpajakan dengan negara lain di dunia.
Oleh karena itu, Wajib Pajak sudah seharusnya melaporkan setiap penghasilan dan hartanya sesuai dengan keadaan sebenarnya. Wajib pajak harus taat patuh dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia, karena upaya penghindaran pajak akan beresiko kerugian bagi wajib pajak itu sendiri.
Jika saat ini masih terdapat harta yang belum dilaporkan, maka Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dapat dimanfaatkan untuk melaporkan harta-harta yang masih belum terlapor di SPT.
"PPS merupakan hak wajib pajak yang diatur sesuai amanat undang-undang dan dapat dimanfaatkan jika memang terdapat harta yang belum dilapor yang sumber penghasilannya belum dikenakan pajak. Namun, jika harta tersebut memang bersumber dari harta yang telah dikenakan pajak, maka dapat dilaporkan melalui pembetulan SPT," pungkas Koni.
Editor : Eka L. Prasetya