JAKARTA, iNewsSukabumi.id- Semua Pemerintah Daerah diharapkan dapat menyelesaikan persoalan stunting di daerah masing-masing pada tahun 2025 ini dengan memfokuskan upaya pada aspek pencegahan (preventif).
Hal tersebut dikemukakan Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga / BKKBN, Prof Budi Setiyono, ketika berdiskusi dan menerima kunjungan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Sesmenko PMK) Imam Machdi di Jakarta Kamis (6/3/2025).
“Pada saat sekarang terjadi miskonsepsi paradigma penanganan stunting yang menekankan pada aspek kuratif atau usaha untuk mengobati balita yang sudah terlanjur terlahir stunting. Akibatnya justru prevelansi stunting terus terjadi,” ujar Budi.
Sesmendukbangga menyatakan bahwa akan sulit untuk meralisasikan target capaian penurunan stunting di angka 18% pada tahun 2025, apabila penanganan stunting masih berkutat pada aspek kuratif, sementara penyebab terjadinya stunting tidak dijadikan prioritas untuk ditangani.
Untuk menurunkan prevelensi stunting seharusnya upaya penghapusan stunting dimulai dari hulu, ketika janin belum terbentuk serta pada masa kehamilan.
Bagaimanapun stunting terjadi karena proses pembentukan janin yang tidak sempurna akibat kekurangan nutrisi, anemia, kepadatan masa kehamilan, sanitasi yang buruk, air minum yang tidak sehat, serta perilaku orang tua yang tidak sehat seperti mengkonsumsi minuman keras, merokok, dan sebagainya.
Oleh karena itu, Budi Setiyono mendorong agar program penanganan stunting harus didahului dengan intervensi pada para calon pengantin agar mereka mengetahui bahaya stunting, serta mempersiapkan kehamilan dengan sebaik-baiknya.
“Para calon pengantin atau calon orang tua ini harus diberikan edukasi yang komprehensif agar mereka memiliki pengetahuan terkait proses kehamilan, kelahiran, dan pengasuhan bayi yang baik agar anak-anak mereka lahir dan tumbuh secara normal dan sehat,” lanjut dia.
Konsultasi, pendampingan, dan pemberian nutrisi yang tepat juga perlu diberikan kepada ibu hamil dan menyusui.
Dalam kaitan tersebut, Prof Budi yang juga guru besar Universitas Diponegoro, menyarankan Pemerintah Daerah untuk memanfaatkan data keluarga (Sistem Informasi Keluarga/SIGA) yang dimiliki oleh Kemendukbangga agar intervensi dapat dilakukan secara efektif. SIGA sendiri adalah merupakan satu sistem terintegrasi dengan memperhatikan standar data dan metadata dengan tingkat detail berupa level by name by address atau data berdasarkan nama dan alamat riil keluarga di seluruh wilayah Indonesia.
“Kita setiap tahun melaksanakan pendataan keluarga, yang menghimpun data terkait pasangan usia subur (PUS), status kehamilan, anggota keluarga balita, pendidikan anggota keluarga, keadaan rumah hunian, perceraian (status keluarga), akses air minum, sanitasi, tingkat kesejahteraan, pemenuhan gizi, kepesertaan KB, dan sebagainya,” ujar Budi.
Data tersebut kemudian dianalisis untuk menentukan Keluarga Beresiko Stunting (KRS) yang bisa dipakai sebagai basis intervensi.
Pada pendataan 2024 teridentifikasi adanya Keluarga Beresiko Stunting sebanyak 8.682.170 keluarga dan tersebar di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
“Kepala Daerah, yakni gubernur, bupati, dan wlikota dapat memfokuskan intervensi pencegahan stunting pada KRS tersebut di wilayah masing-masing, dengan data yang kongkret sehingga presisi keberhasilan penanganan penurunan prevelensi stunting akan tinggi,” tandas Budi.
Kemendukbangga/BKKBN sendiri memiliki program penurunan stunting bernama “Genting” (Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting) yang menggerakkan semangat gotong royong masyarakat untuk mencegah stunting. Gerakan tersebut mendesain intervensi berupa pemberian nutirisi, perbaikan sanitasi dan air bersih, serta edukasi. Pemerintah Daerah bisa berkoordinasi dengan menghubungi kantor perwakilan BKKBN masing-masing untuk mensinergikan kebijakan pencegahan stunting. Dengan demikian, diharapkan tidak ditemukan kasus baru stunting yang muncul di daerah.
Editor : Suriya Mohamad Said
Artikel Terkait