Hal itu dianggap berlawanan dengan dasar yang disyariatkan dalam akad utang. Meski demikian, mazhab Maliki menilai hal demikian masih dianggap wajar sehingga tetap dihukumi sah. Hal tersebut seperti yang telah dijelaskan dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu:
ولا يصح عند الجمهور اشتراط الأجل في القرض ويصح عند المالكية
“Tidak sah mensyaratkan batas waktu pembayaran dalam akad utang menurut mayoritas ulama dan persyaratan tersebut tetap sah menurut mazhab malikiyah,” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 5, hal. 3792).
Meski begitu, syariat memberikan hak seseorang untuk menagih utang ketika yang diberi utang dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup untuk membayar. Ini berbeda dengan muqtarid yang dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang.
Jika kondisinya demikian, muqridh tidak diperkenankan atau haram hukumnya untuk menagih utang pada muqtaridh. Pemberi utang wajib menunggu sampai muqtaridh berada dalam kondisi lapang. Hal tersebut seperti dijelaskan dalam kitab Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
آثار الاستدانة - حق المطالبة ، وحق الاستيفاء: وندب الإحسان في المطالبة ، ووجوب إنظار المدين المعسر إلى حين الميسرة بالاتفاق
“Dampak-dampak dari adanya utang adalah adanya hak menagih utang dan hak membayar utang. Dan disunnahkan bersikap baik dalam menagih utang serta wajib menunggu orang yang dalam keadaan tidak mampu membayar sampai ketika ia mampu membayar utangnya, menurut kesepakatan para ulama,” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 3, hal. 268).
Perintah untuk tidak menagih utang pada seseorang yang sedang dalam keadaan tidak mampu juga sesuai dengan firman Allah subhanahu wa Ta’ala dalam Surah Al Baqarah ayat 280.
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Baqarah: 280).
Editor : Eka L. Prasetya