4. Menu Buka Puasa yang Disunnahkan
Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallaahu’anhu berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa dengan kurma muda sebelum sholat Maghrib, jika tidak ada kurma muda maka dengan kurma matang, jika tidak ada maka beliau meminum beberapa teguk air.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Ash-Shahihah: 2650]
- Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa sunnah berbuka adalah dengan kurma muda, apabila tidak ada maka kurma matang, dan apabila tidak ada hendaklah berbuka dengan minum air putih sebagai gantinya, bukan kue yang manis-manis atau buah-buahan lainnya.
- Tidak disunnahkan memakan kurma dalam jumlah ganjil, karena tidak ada dalil shahih yang menujukkannya, yang ada dalil shahih hanyalah ketika memakan kurma sebelum keluar untuk sholat Idul Fitri, maka disunnahkan dalam jumlah ganjil, dan minimal 3 butir kurma.[6]
- Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa waktu berbuka sebelum sholat Maghrib, namun tidak boleh dengan alasan berbuka kemudian melalaikan sholat Maghrib berjama’ah di awal waktu, maka yang lebih baik adalah menunda makan malam sampai setelah sholat Maghrib agar tidak terlambat.[7]
- Kecuali apabila makan malam telah dihidangkan dan seseorang sangat ingin makan, maka hendaklah ia makan terlebih dahulu agar ia sholat dengan khusyu', tidak memikirkan makanan.[8]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُدِّمَ العَشَاءُ، فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ المَغْرِبِ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
“Apabila makan malam telah dihidangkan maka makanlah dulu sebelum kalian sholat Maghrib, jangan kalian tunda makan malam kalian.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada sholat apabila makanan telah dihidangkan dan tidak pula orang yang sedang menahan dua kotoran (buang hajat).” [HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]
5.Waktu Buka Puasa di Negeri yang Siangnya Panjang
Kondisinya ada dua keadaan:
1) Apabila waktu siang dan malam masih terbedakan dengan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari, walau waktu siangnya jauh lebih panjang daripada waktu malam maka wajib untuk sholat dan puasa sesuai waktu yang ditetapkan syari’at, sehingga waktu mulai berpuasa tetap setelah terbit fajar dan waktu berbuka juga tetap setelah terbenamnya matahari.
Namun bagi yang tidak mampu menyempurnakan puasa, atau khawatir akan membinasakannya, atau menyebabkan sakit parah maka boleh baginya untuk membatalkan puasanya dan wajib baginya untuk qodho’.[9]
Hukumnya sama dengan orang sakit yang masih diharapkan kesembuhannya.
2) Apabila waktu siang dan malam tidak terbedakan, yaitu tidak terlihat matahari terbit dan tidak pula tenggelam, maka hendaklah diperkirakan waktu sholat 5 waktu dalam 24 jam, dan hendaklah berpatokan pada negeri terdekat yang mampu membedakan antara waktu siang dan malam.
Demikian pula waktu puasa, hendaklah diperkirakan waktu Shubuh dan waktu Maghrib dalam 24 jam, dan hendaklah berpatokan pada negeri terdekat yang mampu membedakan antara waktu siang dan malam.[10]
Sebagaimana dalam hadits tentang kedatangan dajjal yang waktu seharinya bagaikan setahun, sebulan dan sepekan, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk memperkirakan waktu sholat.
6. Waktu Buka Puasa di Pesawat dan di Gedung Tinggi
Hukum asalnya adalah mengikuti waktu di tempat di mana seseorang berada, jika di darat mengikuti waktu darat dan jika di udara mengikuti waktu di udara.
Misalkan seseorang berada di pesawat di langit Jakarta, maka orang-orang yang berada di daratan Jakarta akan lebih dulu melihat matahari tenggelam, maka disyari’atkan bagi mereka untuk berbuka.
Adapun yang sedang di pesawat di udara, apabila ia masih menyaksikan matahari maka tidak boleh baginya untuk berbuka atau sholat Maghrib sampai menyaksikan atau memastikan matahari sudah tenggelam.
Demikian pula ketika masuk waktu Maghrib saat seseorang berada di bandara, maka hendaklah ia berbuka dan sholat Maghrib. Apabila ia naik pesawat atau tiba di tempat tujuan, waktu Maghrib belum masuk maka ia tidak perlu meneruskan puasa dan tidak perlu sholat Maghrib lagi, karena waktu berbuka dan sholatnya di tempat di mana ia berada sebelumnya saat masuk waktu tersebut.[11]
Hukum yang sama juga berlaku bagi orang yang berada di gedung tinggi, apabila ia masih melihat matahari belum tenggelam secara sempurna maka tidak boleh baginya berbuka, walau orang yang berada di gedung yang sama di bagian bawahnya telah berbuka, karena ia melihat matahari telah terbenam.[12]
Dan apabila orang yang di udara atau di gedung yang tinggi telah melihat matahari tenggelam secara sempurna, namun langit masih sangat terang, maka tidak masalah bagi mereka untuk berbuka puasa.[13]
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta