Menurut Tarpan, dirinya tidak pernah mengira bisa menjadi seorang dekan seperti sekarang. Sebab, ekonomi keluarganya sangat pas-pasan, sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas dilalui dengan dengan kesusahan.
"Karena faktor ekonomi, saya tidak seperti teman-teman lain yang hidupnya kecukupan. Saya cukup tahu diri dan membatasi pergaulan saat di sekolah," katanya. Lepas dari sekolah SMEA, Tarpan tidak berpikir untuk melanjutkan hingga ke universitas, tapi ingin mencari kerja membantu ekonomi keluarganya. Kemudian dia meninggalkan tanah kelahirannya, di Tempuran, Karawang, pergi hingga ke Banten. "Saya cari kerja hingga ke Banten. Namun tidak ada satupun lowongan untuk saya," jelasnya.
Akhirnya dia kembali ke Karawang, namun tidak pulang ke rumah. Tarpan lebih memilih tinggal di rumah kawannya di Kota Karawang. Dia berharap, tinggal di kota lebih berpeluang mendapat kerja. Setelah numpang di rumah temannya, namun pekerjaan tak kunjung didapat. "Hampir setiap sudut Kota Karawang saya datangi, tapi tidak juga dapat kerjaan," ungkapnya.
Setiap malam, dia melamun di depan rumah kawannya. Namun suatu malam, saat dia sedang di depan rumah melihat ke ujung jalan banyak becak parkir. Dia mendatangi pemilik pangkalan becak dan menanyakan apakah ada lowongan untuk menjadi penarik becak.
Tidak disangka, ternyata ada satu becak yang nganggur. "Saya diterima jadi penarik becak, karena pemiliknya kenal dengan teman saya. Itu tahun 1990, saat saya jadi penarik becak," katanya mengenang masa lalu.
Editor : Eka L. Prasetya