JAKARTA, iNews.id — Kalangan DPR meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali penggunaan aplikasi PeduliLindungi dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk membeli minyak goreng curah.
Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus. Menurutnya, cara tersebut dapat menimbulkan kegaduhan dan merepotkan masyarakat serta berpotensi menyebabkan penyimpangan.
Deddy mengatakan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus menjelaskan dan menyosialisasikan terlebih dahulu siapa saja yang berhak membeli minyak goreng curah. Jika tidak, maka akan berpotensi menyebabkan kerumunan orang yang kecewa karena tidak boleh mendapatkan minyak goreng.
"Bayangkan orang datang ke tempat pembelian lalu ternyata aplikasi menunjukkan warna merah, pada saat yang sama banyak warga lain yang terlihat mampu ternyata dapat. Hal ini bisa berujung pada kegaduhan di lapangan," kata Deddy dikutip dari keterangan tertulisnya, hari ini.
Di sisi lain, kata politikus PDIP ini, penggunaan KTP yang tidak mengacu pada Kartu Keluarga (KK) juga berpotensi menimbulkan gaduh karena volume yang ditetapkan cukup besar, 10 kg per KTP per hari.
Aturan ini bisa mendorong penimbunan dan alokasi di setiap titik itu habis dalam waktu singkat. Hal ini bisa saja terjadi karena selisih harga dengan minyak goreng kemasan masih cukup tinggi.
Menurut Deddy, cara terbaik adalah dengan membuat rantai distribusi yang benar dan memastikan pasokan lancar, sesuai kebutuhan di setiap daerah dengan harga sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET).
Dia mengungkapkan, saat ini pasokan minyak sawit melimpah, bahkan pabrik kelapa sawit sudah tidak mampu menampung produksi. Tanpa tata kelola rantai pasok yang baik dan mekanisme distribusi yang benar, persoalan minyak goreng tidak akan pernah terselesaikan secara fundamental.
"Saat ini yang terpenting adalah membanjiri pasar domestik dan memperlancar proses ekspor agar mekanisme pasar bekerja. Hal ini akan mendorong keseimbangan supply dan demand serta mendorong harga turun secara wajar," katanya.
Deddy berharap agar pemerintah berpikir secara sistemik dan menata ekosistem sawit dan minyak goreng secara fundamental, tidak selalu berpikir ad hoc dan parsial. Saat ini kerugian dialami semua pihak, terutama pelaku perkebunan skala sedang dan petani sawit rakyat.
Petani kecil sedang menderita karena harga buah sawit anjlok hingga Rp400/kg dari harga keekonomian yang wajar sebesar Rp2.156/kg akibat tangki penyimpanan yang sudah melebihi kapasitas. Seharusnya dengan harga minyak sawit yang sudah menyentuh Rp5.138/kg, harga minyak goreng curah berada jauh dibawah HET, yaitu di kisaran Rp12.156/kg atau sekitar Rp11.200/liter. "Terus terang saya tidak mengerti cara berpikir Pak Luhut dan Pak Mendag," kata Deddy.
Editor : Eka L. Prasetya
Artikel Terkait