4. Bahwa praktek nikah mut’ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran,dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi`ah di Indonesia.
5. Bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama`ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi`ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus.
6. Bahwa oleh karena itu, perlu segera dikeluarkan fatwa tentang nikah mut’ah oleh Majelis Ulama Indonesia.
MUI juga mengutip dalil untuk mendukung fatwa tersebut yakni:
MUI juga mengutip dalil untuk mendukung fatwa tersebut yakni:
وَالَّذِيۡنَ هُمۡ لِفُرُوۡجِهِمۡ حٰفِظُوۡنَۙ
اِلَّا عَلٰٓى اَزۡوَاجِهِمۡ اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُهُمۡ فَاِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُوۡمِيۡنَۚ
Wallazeena hum lifuroo jihim haafizoon
Illaa 'alaaa azwaajihim aw maa malakat aimaanuhum fa innahum ghairu maloomeen
“Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela” (QS. Almukminun[23]:5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah, karena akad mut’ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut :
1) Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan
2) Iddah Mut’ah tidak seperti iddah nikah biasa.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta